Latar Belakang
Seni dalam pendidikan kita tak pernah mendapatkan tempat intra dalam kurikulum. Tersingkirnya seni, utamaya aspek kreatifitas yang berhubungan dengan kelangsungan hidup secara kualitas dalam pendidikan merupakan implikasi dari muatan kurikulum yang lebih memfokuskan perhatian pada penguasaan pengetahuan teoritis dan keterampilan teknis.
Pendidikan terjebak pada kebutuhan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tenaga kerja terampil. Paradigma pendidikan untuk mencetak tenaga kerja terampil tidak terlepas dari kuatnya pengaruh tuntutan dunia industri. Alih-alih menuntun perkembangan kemampuan holistik siswa, pendidikan lebih banyak disibukkan dengan urusan kepentingan menemukan efektifitas dalam memenuhi tuntutan keberlangsungan industri. Dalam hal ini dunia industri mencakup spektrum pengertian yang lebih luas, tidak sekadar industri manufaktur.
Praktik pendidikan seperti itu sejatinya mengingkari mandat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2003. Pasal 36 UU Sisdiknas 23/2003 menegaskan memberikan mandat kurikulum di setiap jenjang pendidikan menempatkan seni dan budaya setara dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya pada Pasal 37 ditegaskan bahwa seni dan budaya merupakan salah satu mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Norma itu menegaskan bahwa ada bagian dari tujuan pendidikan yang tidak bisa terpenuhi oleh materi pelajaran lain selain oleh materi pelajaran seni dan budaya. Pasal tersebut mendapatkan penjelasan bahwa kajian pelajaran seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
Kondisi praktik pendidikan yang menggelisahkan itu melatarbelakangi niat kami, sejumlah penggiat pendidikan, untuk menggagas suatu paradigma pendidikan holistik-komprehensip yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai pendidikan yang berkebudayaan. Paradigma itu menegaskan bahwa sejatinya pendidikan merupakan wahana pembudayaan. Dalam perspektif pandagan Ki Hajar Dewantara pembudayaan merupakan proses tuntunan pengembangan segala kemampuan kodrat anak sebagai individu dan sebagai bagian dari lingkungan, baik alam maupun sosial. Segala kodrat kemampuan yang dimaksud mencakup kemampuan akal rasional, rasa-emosional, dan karsa-kehendak. Oleh karena itu menurut Ki Hajar seni merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses tuntutan pengembangan segala kekuatan kodrat anak.
Paradigma pendidikan yang berkebudayaan itu kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai program penguatan praktik pendidikan kontekstual. Program yang sudah diinisiasi secara kolektif antara Direktorat Jenderal Kebudayaan-Kementarian Pendidikan Dan Kebudayaan, Riset Dan Teknologi (Ditjenbud-Kemendikbudristek), Sanggar Anak Akar, Erudio Indoesia, dan Gudskul adalah program Penguatan Karakter Siswa Mandiri Melalui Kreasi Seni (PRESISI) yang sudah berjalan selama 4 tahun terakhir.
Program berikutnya yang diselenggarakan untuk memfasilitasi pegiat pendidikan, utamanya guru, dalam mengembangkan kemampuan pedagogik adalah program Residensi Seni Pedagogi. Dalam konteks program ini pedagogi dimaknai sebagai seni, yaitu ekspresi kreatif guru dalam mengartikulasikan pengetahuan dan keterampilannya ke dalam praksis proses pendidikan kontekstual bersama dengan siswa.
Residensi Seni Pedagogi 2023
Residensi Seni Pedagogi pertama diselenggarakan dalam rangka Pekan Kebudayaan Nasional (PKN 2023). Program yang masuk dalam kuratorial kegiatan Pendidikan Yang Berkebudayaan diselenggarakan secara kolaboratif antara Ditjenbud-Kemendikbudristek, Perdikan, Benih Cetha Nusantara, Komunitass Cagar Urip – Samigaluh, dan beberapa kolektif seni. Peserta program Residensi Seni Pedagogi adalah 5 guru yang terseleksi secara kuratorial dari hasil
panggilan terbuka (open call).